Thursday, March 13, 2014

Mengenal Sosok Jokowi

Ir. H. Joko Widodo (lahir di Surakarta, 21 Juni 1961; umur 52 tahun), atau yang lebih akrab dipanggil Jokowi, adalah Gubernur DKI Jakarta terhitung sejak tanggal 15 Oktober 2012. Ia merupakan gubernur ke-16 yang memimpin ibu kota Indonesia.
Sebelumnya, Jokowi menjabat Wali Kota Surakarta (Solo) selama dua periode, 2005-2010 dan 2010-2015, namun baru 2 tahun menjalani periode keduanya, ia mendapat amanat dari warga Jakarta untuk memimpin Ibukota Negara. Dalam masa jabatannya di Solo, ia didampingi F.X. Hadi Rudyatmo sebagai wakil walikota. Ia dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Joko Widodo lahir dari pasangan Noto Mihardjo dan Sujiatmi Notomiharjo. Dengan kesulitan hidup yang dialami, ia terpaksa berdagang, mengojek payung, dan jadi kuli panggul untuk mencari sendiri keperluan sekolah dan uang jajan. Saat anak-anak lain ke sekolah dengan sepeda, ia memilih untuk tetap berjalan kaki. Mewarisi keahlian bertukang kayu dari ayahnya, ia mulai pekerjaan menggergaji di umur 12 tahun. Penggusuran yang dialaminya sebanyak tiga kali di masa kecil mempengaruhi cara berpikirnya dan kepemimpinannya kelak setelah menjadi Walikota Surakarta saat harus menertibkan pemukiman warga.


Masa kuliah dan berwirausaha

Dengan performa akademis yang dimiliki, ia diterima di Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk belajar struktur kayu, pemanfaatan, dan teknologinya.
Selepas kuliah, ia bekerja di BUMN, namun tak lama memutuskan keluar dan memulai usaha dengan menjaminkan rumah kecil satu-satunya, dan akhirnya berkembang sehingga membawanya bertemu Micl Romaknan, yang akhirnya memberinya panggilan yang populer hingga kini, Jokowi. Dengan kejujuran dan kerja kerasnya, ia mendapat kepercayaan dan bisa berkeliling Eropa yang membuka matanya. Pengaturan kota yang baik di Eropa menjadi inspirasinya untuk diterapkan di Solo dan menginspirasinya untuk memasuki dunia politik. Ia ingin menerapkan kepemimpinan manusiawi dan mewujudkan kota yang bersahabat untuk penghuninya.


Karier politik

Wali Kota Surakarta
Dengan berbagai pengalaman di masa muda, ia mengembangkan Solo yang buruk penataannya dan berbagai penolakan masyarakat untuk ditertibkan. Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan dan menjadi kajian di universitas luar negeri.


Rebranding Solo

Branding untuk kota Solo dilakukan dengan menyetujui slogan Kota Solo yaitu "Solo: The Spirit of Java". Langkah yang dilakukannya cukup progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa: ia mampu merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat. Taman Balekambang, yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman. Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya. Sebagai tindak lanjut branding ia mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober 2008 ini. Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan rumah Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan. FMD pada tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran.


Mendamaikan Keraton Surakarta

Pada tanggal 11 Juni 2004, Paku Buwono XII wafat tanpa sempat menunjuk permaisuri maupun putera mahkota, sehingga terjadi pertentangan antara kedua putranya, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (SDISKS) Paku Buwono XIII dan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Panembahan Agung Tedjowulan. Selama tujuh tahun ada dua raja yang ditunjuk oleh kedua pihak di dalam satu Keraton.
Konflik ini akhirnya mendorong campur tangan pemerintah Republik Indonesia dengan menawarkan dualisme kepemimpinan, dengan Paku Buwono XIII sebagai Raja dan KGPH Panembahan Agung Tedjowulan sebagai wakil atau Mahapatih. Penandatanganan kesepahaman ini didukung oleh empat perwakilan menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pekerjaan Umum serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun konflik belum selesai karena beberapa keluarga keraton masih menolak penyatuan ini.

Puncaknya adalah penolakan atas Raja dan Mahapatih untuk memasuki Keraton pada tanggal 25 Mei 2012. Keduanya dicegat di pintu utama Keraton di Korikamandoengan. Jokowi akhirnya berperan menyatukan kembali perpecahan ini setelah delapan bulan menemui satu per satu pihak keraton yang terlibat dalam pertentangan. Pada tanggal 4 Juni 2012 akhirnya Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan berakhirnya konflik Keraton Surakarta yang didukung oleh pernyataan kesediaan melepas gelar oleh Panembahan Agung Tedjowulan, serta kesiapan kedua keluarga untuk melakukan rekonsiliasi.


Penghargaan

Atas prestasinya, oleh Majalah Tempo, Joko Widodo terpilih menjadi salah satu dari "10 Tokoh 2008".Kebetulan di majalah yang sama pula, Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab dengan panggilan Ahok pernah terpilih pula dalam "10 Tokoh 2006" atas jasanya memperbaiki layanan kesehatan dan pendidikan di Belitung Timur. Ahok kemudian akan menjadi pendampingnya di Pilgub DKI tahun 2012.
Pada tanggal 12 Agustus 2011, ia juga mendapat penghargaan Bintang Jasa Utama untuk prestasinya sebagai kepala daerah mengabdikan diri kepada rakyat.Bintang Jasa Utama ini adalah penghargaan tertinggi yang diberikan kepada warga negara sipil. Pada Januari 2013, Joko Widodo dinobatkan sebagai wali kota terbaik ke 3 di dunia atas keberhasilannya dalam memimpin Surakarta sebagai kota seni dan budaya, kota paling bersih dari korupsi, serta kota yang paling baik penataannya.



Gubernur DKI Jakarta

Suasana di posko pemenangan Jokowi di Jalan Borobudur 22 Jokowi diminta secara pribadi oleh Jusuf Kalla untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Pilgub DKI tahun 2012. Karena merupakan kader PDI Perjuangan, maka Jusuf Kalla meminta dukungan dari Megawati Soekarnoputri, yang awalnya terlihat masih ragu. Sementara itu Prabowo Subianto juga melobi PDI Perjuangan agar bersedia mendukung Jokowi sebagai calon gubernur karena membutuhkan 9 kursi lagi untuk bisa mengajukan Calon Gubernur. Pada saat itu, PDI Perjuangan hampir memilih untuk mendukung Fauzi Bowo dan Jokowi sendiri hampir menolak dicalonkan. Sebagai wakilnya, Basuki T Purnama yang saat itu menjadi anggota DPR dicalonkan mendampingi Jokowi dengan pindah ke Gerindra karena Golkar telah sepakat mendukung Alex Noerdin sebagai Calon Gubernur.

Pasangan ini awalnya tidak diunggulkan. Hal ini terlihat dari klaim calon petahana yang diperkuat oleh Lingkaran Survei Indonesia bahwa pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli akan memenangkan pilkada dalam satu putaran. Selain itu, PKS yang meraup lebih dari 42 persen suara untuk Adang Daradjatun di pilkada 2007 juga mengusung Hidayat Nur Wahid yang sudah dikenal rakyat sebagai Ketua MPR RI periode 2004-2009. 

Dibandingkan dengan partai lainnya, PDIP dan Gerindra hanya mendapat masing-masing hanya 11 dan 6 kursi dari total 94 kursi, jika dibandingkan dengan 32 kursi milik Partai Demokrat untuk Fauzi Bowo, serta 18 Kursi milik PKS untuk Hidayat Nur Wahid. Namun LP3ES sudah memprediksi bahwa Jokowi dan Fauzi Bowo akan bertemu di putaran dua.
Hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei pada hari pemilihan, 11 Juli 2012 dan sehari setelah itu, memperlihatkan Jokowi memimpin, dengan Fauzi Bowo di posisi kedua. Pasangan ini berbalik diunggulkan memenangi pemilukada DKI 2012 karena kedekatan Jokowi dengan Hidayat Nur Wahid saat pilkada Walikota Solo 2010 serta pendukung Faisal Basri dan Alex Noerdin dari hasil survei cenderung beralih kepadanyaSaat berkampanye dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012, Joko Widodo alias Jokowi berjanji akan memimpin Jakarta selama lima tahun jika terpilih menjadi gubernur. Kini, belum satu setengah tahun berlalu, janji Jokowi itu dipertanyakan. Akankah Jokowi setia kepada warga Jakarta? Atau Jokowi tergoda maju di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014?
Jokowi mulai jadi buah bibir media massa nasional dan publik di Indonesia saat menjadi Wali Kota Surakarta alias Solo, terutama ketika membawa mobil Esemka ke Jakarta untuk diuji emisi, Januari 2012.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) lalu mengusung Jokowi menjadi calon gubernur DKI. Ia disandingkan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang diusung Partai Gerindra.
Berbagai janji disampaikan Jokowi untuk memikat hati warga Jakarta agar memilihnya pada Pilgub DKI Jakarta, Juli 2012, dan diulangi pada putaran kedua, September 2012. Selain janji menciptakan Jakarta baru, Jokowi juga berjanji akan memimpin Jakarta selama lima tahun. Dia berkomitmen tidak akan menjadi "kutu loncat" dengan mengikuti Pilpres 2014.
Janji itu diucapkannya, barangkali untuk menjawab keraguan atas kesetiannya menjalani amanah yang diberikan warga Jakarta. Pasalnya, ketika terpilih menjadi DKI 1, Jokowi juga belum menyelesaikan masa jabatannya sebagai Wali Kota Solo. Jokowi tidak menuntaskan jabatannya hingga 2015.
Jokowi makin merebut hati rakyat ketika sering turun ke bawah selama membenahi Jakarta, istilahnya blusukan. Bahkan, masuk ke gorong-gorong pun dilakukannya. Aksinya itu kerap dipublikasi media massa nasional. Blusukan dianggap penting untuk mengontrol kerja jajarannya.
Jokowi bukan hanya membuat mayoritas warga Jakarta semakin jatuh cinta, tetapi juga warga kota lain. Bahkan, mereka yang mengkritik Jokowi pasti di-bully, terutama di media sosial. Contohnya, tokoh reformasi Amien Rais dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menjadi "korban" serangan publik.


Desakan jadi capres

Perlahan tetapi pasti, popularitas dan elektabilitas Jokowi terus menanjak. Medio 2013, wacana Jokowi menjadi capres mencuat. Ketika ditanya soal pencapresan, ia mengaku tak berpikir. Ditanya pada kesempatan lain, jawabannya selalu sama. "Copras, capres," jawaban yang kerap dilontarkan Jokowi untuk mengelak.
Namun, ketika Pemilu 2014 semakin dekat, meski tidak tersurat, sinyal pencapresan Jokowi semakin kuat. Peneliti Saiful Mujani Research and Counsulting Sirojuddin Abbas mengatakan, banyak sinyal yang menunjukkan Jokowi akan maju di Pilpres 2014. Jokowi kerap dibawa Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ketika berkunjung ke daerah. Sinyal paling anyar saat Jokowi menyelipkan kalimat "titip Jakarta" ketika memberipengarahan kepada ratusan pejabat eselon III dan IV Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan diajak Megawati mengunjungi makam Soekarno di Blitar, Jawa Timur, Rabu (12/3/2014).

Apakah etis jika Jokowi maju dalam pilpres? “Dalam politik tidak ada yang etis. Orang terkadang pragmatis dalam artian, lihatopportunity yang praktis dan terukur soal itu,” jawab Sirojuddin.
Menurut Sirojuddin, bagi PDI-P, Pemilu 2014 adalah momentum yang paling tepat untuk menjadikan Jokowi senjata pamungkas agar bisa kembali berkuasa. Momentum dan kesempatan yang sama belum tentu terulang pada pesta demokrasi lima tahun mendatang. “Dia (PDI-P) bosan juga jadi oposisi,” katanya.
Lalu, bagaimana dengan janji Jokowi kepada warga Jakarta? Ketua Populi Center Nico Harjanto mengatakan, Jokowi tetap bisa memenuhi janjinya dengan menjadi presiden lantaran banyak kebijakan strategis pemerintah pusat yang langsung berpengaruh pada Ibu Kota.
“Karena bukan provinsi itu saja yang bisa diperbaiki, tapi juga seluruh negara,” katanya.


Daftar pustaka:

http://id.wikipedia.org/wiki/Joko_Widodo
http://nasional.kompas.com/read/2014/03/13/0928295/Jokowi.Janji.Politik.dan.Sinyal.Capres


.

No comments:

Post a Comment