SEKILAS TENTANG KDRT
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang.
Fenomena
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah fenomena universal yang dapat
terjadi tanpa memandang usia, profesi, tingkat ekonomi maupun pendidikan dari
individu yang mengalaminya . Beberapa publik figur di bidang hiburan Indonesia
yang juga diketahui mengalami KDRT, sebut saja Imaniar oleh suaminya Max Don,
Maia Estianti, dan Five-V . Selain publik figur, KDRT seringkali menimpa
perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, seperti kasus Ibu
Lisa berikut ini:
Banyaknya
kasus KDRT yang terjadi di Indonesia merupakan cerminan gagalnya sebuah
keluarga membangun dan membina sebuah kondisi rumah tangga yang kondusif dan
nyaman bagi setiap anggota keluarga yang berlindung didalamnya . Istilah
“keluarga” mengacu pada rasa aman dan dilindungi, kondisi yang bersifat pribadi
dan sebagai tempat berteduh dari tekanan-tekanan dan kesulitan di luar rumah.
Keluarga juga berarti tempat dimana anggota keluarga bisa merasakan
eksistensinya dalam keadaan damai, aman dan tentram. Namun ironisnya, keluarga
bisa berpotensi sebagai “pusat terjadinya kekerasan” dimana anggota keluarga
bisa menjadi sasaran kekerasan.
BENTUK-BENTUK KDRT
Bentuk-bentuk
kekerasan dalam rumah tangga secara umum menurut undang-undang No. 23 tahun
2004 ada tiga, yaitu :
1. Kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat
(Pasal 6).
2. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang
(pasal 7).
3. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan
yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara
tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang
lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Penelantaran rumah tangga.
Kekerasan
seksual meliputi (pasal 8)
1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut ;
2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
3. Penelantaran rumah tangga adalah seseorang
yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut (pasal 9).
Kekerasan
fisik, kekerasan emosional, maupun penelantaran ekonomi Kekerasan fisik yang
dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat. Misalnya saja bentuk kekerasan yang menggunakan tangan kosong, seperti
menyiram dengan air panas, menjambak rambut, mendorong, meludahi dan menampar.
Sedangkan kekerasan psikis merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan jenis ini
dapat berbentuk hinaan atau kata-kata kotor yang merendahkan diri perempuan,
seperti “kamu tidak berguna” atau “kamu tidak menarik”. Luka terdalam sebagai
dampak kekerasan psikis yang dialami individu dapat juga menimbulkan trauma
berkepanjangan. Selain itu, korban kekerasan bisa juga jadi pelaku kekerasan di
masa mendatang!” .
Kekerasan
seksual dan kekerasan dengan bentuk penelantaran rumah tangga. Kekerasan
seksual dapat berbentuk pemaksaan hubungan seksual. Walaupun sulit dibuktikan,
bentuk kekerasan ini juga sering dialami oleh perempuan, misalnya memaksakan
berhubungan seks walaupun istri sedang tidak sehat atau tidak mau, atau
melakukan perilaku seks menyimpang dengan istri. Penelantaran rumah tangga
berarti ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah
kendali orang tersebut (Scanzoni, 1988). Sebagaimana yang telah digambarkan
diatas, kaum yang sering menjadi korban kekerasan adalah perempuan.
Banyaknya
kasus KDRT yang terjadi pada kehidupan rumah tangga keluarga Indonesia
hendaknya mendapat perhatian yang lebih intensif lagi. Sebagaimana telah
dituturkan sebelumnya, bahwa faktor budaya seringkali mengharuskan para
perempuan korban KDRT menelan pil pahitnya seorang diri, sehingga mereka tidak
mampu menghasilkan keputusan yang dapat dinilai membebaskan dirinya dari KDRT
yang dialaminya, misalnya perceraian. Dari dua kemungkinan pengambilan
keputusan dalam menghadapi KDRT yang dialaminya, yaitu bertahan dalam
perkawinannya atau bercerai, dapat dikatakan seorang perempuan lebih memilih
untuk bertahan dalam perkawinannya daripada bercerai .
Sejalan
dengan berlakunya UU PKDRT, banyak pula korban KDRT yang berani menentukan
sikap dan mengambil keputusan untuk bercerai, karena mereka merasa ada jaminan
hukum yang akan melindungi diri mereka serta keputusan yang mereka ambil .
Bertahan atau tidaknya seorang individu korban KDRT dalam perkawinannya akan
sangat tergantung pada bagaimana individu memandang dirinya sendiri, serta
bagaimana individu tersebut mengkonsepsikan segala atribut yang melekat dalam
dirinya sendiri sebagai suatu keutuhan diri individu . Berdasarkan fenomena
yang terjadi dilapangan dan yang telah peneliti paparkan sebelumnya, peneliti
tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai konsep diri para perempuan korban
KDRT, terutama para korban tindak KDRT yang memutuskan untuk tetap bertahan
dalam perkawinannya. Bagaimana individu memandang dirinya sendiri, lingkungannya
serta keputusannya untuk tetap bertahan dalam perkawinannya walaupun mengalami
KDRT.
PENYEBAB DAN DAMPAK KDRT
Penyebab
umum KDRT :
1.
Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak
laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
2. Laki-laki
dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
3. Persepsi
mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena
merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
4. Pemahaman
yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri
pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi
bahwa
laki-laki boleh menguasai perempuan.
5. Budaya
bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
6.
Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
7. Pernah
mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
8. Budaya
bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
9. Melakukan
imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang
sering
melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
10. Masih
rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri
yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari
pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam
rumah tangga, sehingga data kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan
ataupun dianggap masalah yang sepele. Masyarakat ataupun pihak yang tekait
dengan KDRT, baru benar- benar bertindak jika kasus KDRT sampai menyebabkan
korban baik fisik yang parah dan maupun kematian, itupun jika diliput oleh
media massa. Banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) yang tidak
tertangani secara langsung dari pihak yang berwajib, bahkan kasus kasus KDRT
yang kecil pun lebih banyak dipandang sebelah mata daripada kasus – kasus lainnya.
11. Masalah
budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang
sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki mendominasi
perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap
asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk mendorong
dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan
bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak – anaknya , atau cara
suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat
mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).
12. Faktor
Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang
lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh
lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa
sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang
lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT.
Dampak umum KDRT
1. Dampak
kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah: mengalami sakit
fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami
rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa
dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk
bunuh diri.
2. Dampak
kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih
banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater,
dan merasa takut kehilangan pekerjaan.
3. Dampaknya
bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan,
peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak
dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada
pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara
memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.
Pencegahan KDRT
Mencegah
maraknya KDRT dengan mencegah pernikahan dini adalah tindakan yang
gegabah. Sebab, secara fitrah manusia
dimungkinkan menikah pada usia dini. Apa
jadinya jika remaja yang sudah siap menikah dihalang-halangi untuk menikah
hanya karena khawatir terjadi KDRT?
Tentu bahayanya akan jauh lebih besar.
Pergaulan bebas akan semakin merajalela.
Oleh karena itu, tindakan KDRT seharusnya tidak dicegah dengan mengharamkan
pernikahan dini.
Menilik
beberapa faktor pemicu KDRT sebagaimana yang dipaparkan di atas, maka tindakan
KDRT dapat dicegah dengan :
Pertama, mempersiapkan diri dengan baik
ketika berniat untuk menikah. Persiapan yang dimaksud bukan saja persiapan
materi atau jasmani, namun meliputi persiapan mental, baik menyangkut penguatan
akidah, pemahaman hukum-hukum Islam khususnya tentang kehidupan suami isteri,
memperkuat kepribadian Islami dan sebagainya.
Kedua,
konsisten untuk turut andil dalam upaya mengubah kehidupan sekuler
-liberalistik-kapitalistik yang menyebabkan beban persoalan keluarga kian
berat. Sejalan dengan penguatan internal
individu-individu dalam keluarga, kondisi sosial yang melingkupi mereka tidak
boleh kontra produktif. Oleh karena itu,
kehidupan masyarakat harus diubah menjadi kehidupan yang melahirkan
kesejahteraan, ketenangan dan ketentraman.
Itulah kehidupan Islam yang menjalankan syariat Islam secara kaffah. Upaya ini harus menjadi perhatian semua pihak
jika tidak ingin laju tindak KDRT semakin kencang.
Tak
seharusnya pernikahan dini menjadi kambing hitam tindak kedhaliman sistem dan
manusia. Hukum Allah SWT yang
membolehkan pernikahan dini tentu membawa kabaikan bagi manusia. Bila terdapat persoalan di balik semua itu,
tentu perilaku manusialah yang layak menjadi sorotan, adakah kesalahan yang
telah dilakukan selama ini.
Dengan
demikian, setiap muslim dijamin haknya untuk menikah kapan pun dia mampu. Syariat telah memberi rambu-rambu yang jelas
dalam setiap pelaksanaan hukum-hukumnya.
Menikah dini memang membutuhkan persiapan lebih banyak, terlebih dalam
sistem kehidupan sekuler kapitalistik saat ini.
Bila salah melangkah, jebakan KDRT akan siap menghadang. Namun demikian, bukan mustahil akan terwujud
kehidupan pernikahan dini yang sakinah mawaddah wa rahmah tanpa ancaman KDRT. Semua tergantung sang pelaku.
Daftar
pustaka:
http://sasaranilmu.blogspot.com/2013/04/makalah-fenomena-kekerasan-dalam-rumah.html
http://hukum.kompasiana.com/2013/06/27/kdrt-kekerasan-dalam-rumah-tangga-569012.html
No comments:
Post a Comment